Kisah Menjelang Wafatnya Sayyidah Khadijah Istri Rasulullah SAW
"Siapa yang Akan Membelaku, Wahai Khadijah?"
![]() |
| Menjelang wafatnya Sayyidah Khadijah |
Siti Khadijah adalah wanita luar biasa yang sangat mencintai Rasulullah. Beliau wafat pada tahun ke-10 kenabian, tepatnya di bulan Ramadhan, dalam keadaan yang sangat menyedihkan bagi Rasulullah dan umat Islam.
Siti Khadijah wafat pada usia sekitar 65 tahun, beberapa bulan setelah Abu Talib, paman Rasulullah, meninggal dunia. Kepergian Siti Khadijah membuat Rasulullah merasa sangat kehilangan, karena beliau adalah istri pertama yang sangat setia, penuh kasih sayang, dan selalu mendukung dakwah Rasulullah sejak awal. Khadijah juga adalah wanita yang pertama kali percaya pada wahyu yang dibawa Rasulullah dan selalu memberi dukungan moral, harta, dan tenaga.
Malam itu sunyi. Tak ada bintang yang bersinar seperti biasa. Rumah kecil itu dipenuhi keheningan yang ganjil, seolah langit pun sedang menahan tangisnya. Siti Khadijah terbaring lemah di atas pelepah kurma yang disusun rapi, dibalut tikar lusuh yang selama ini tak pernah ia pedulikan. Matanya sudah sayu, tubuhnya dingin. Tapi senyumnya masih hangat.
Rasulullah duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat-erat. Tangan yang dulu selalu kuat menggenggam pundaknya saat beliau jatuh. Kini, tangan itu dingin dan gemetar.
"Wahai Khadijah...," suara Nabi bergetar,
"Kau tahu... aku tak pernah takut pada dunia, selama kau ada di sisiku."
Khadijah tersenyum lemah, "Dan aku... tak pernah merasa berat hidup ini, selama bisa memeluk perjuanganmu." Air mata mengalir di pipi Rasulullah.
"Siapa yang akan membelaku setelah ini, wahai Khadijah?"
Khadijah diam sejenak. Matanya menatap dalam wajah suaminya, lalu berkata dengan lirih, "Umatmu, ya Rasulullah... Umatmu akan membelamu, mencintaimu, dan membawa risalahmu."
Seketika dada Rasulullah bergetar hebat. Kalimat itu seperti tombak yang masuk perlahan ke dalam hati. Umat... yang bahkan belum lahir... sudah disebut oleh wanita suci ini, di napas terakhirnya.
Lalu suara kecil memecah tangis malam menjelang ajalnya, Khadijah memanggil putrinya, Fatimah Az-Zahra, mendekat. Dengan suara lirih, ia berbisik,
"Fatimah, putriku, aku yakin ajalku segera tiba. Yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku."
Fatimah yang masih belia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. la kemudian menyampaikan permintaan ibunya kepada Rasulullah. Mendengar permintaan tersebut, Rasulullah meneteskan air mata dan berkata.
"Wahai Khadijah, Allah SWT telah menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga."
Khadijah tersenyum mendengar jawaban suaminya. Tak lama kemudian, ia menghembuskan napas terakhir di pangkuan Rasulullah. Rasulullah mendekap erat jasad istrinya dengan perasaan pilu yang teramat sangat, hingga air mata beliau tumpah.
Tak berselang lama setelah wafatnya Khadijah, Malaikat Jibril turun dari langit Saat itu Rasulullah masih menggenggam tubuh Khadijah yang mulai dingin. Air matanya membasahi wajah sang istri tercinta.
Tiba-tiba, langit terasa berbeda. Malaikat Jibril turun membawa lima helai kain putih nan bersih.
"Wahai Rasulullah," kata Jibril penuh hormat,
"Ini adalah lima kain kafan dari surga. Untukmu, untuk Khadijah, untuk Fatimah, untuk Ali, dan untuk cucumu, Hasan."
Rasulullah mengangkat kepalanya. Ada getaran dalam hatinya.
"Cucuku?" tanya beliau lirih, terkejut.
"Ya, wahai Rasulullah," jawab Jibril, "Allah akan memberimu keturunan dari Fatimah.
Dan dari mereka, Hasan dan Husain akan lahir. Namun..."
Jibril menunduk, menahan isak, "Husain tidak akan mendapatkan kafan. Ia akan syahid di padang Karbala, dalam keadaan haus dan terluka."
Rasulullah menggigil. la menangis, memeluk Khadijah lebih erat, seolah ingin memeluk seluruh takdir yang baru saja disampaikan.
Malam itu, dunia seakan ikut berduka. Langit Makkah menyimpan tangis Rasulullah kehilangan pendamping terbaiknya dan mengetahui ujian berat yang menanti keluarganya kelak.
Malam itu terasa panjang. Di dalam rumah sederhana itu, Rasulullah perlahan. membaringkan tubuh Khadijah.
Fatimah kecil mendekat dengan langkah. gemetar. Matanya sembab. Ia memandang ibunya yang telah terbaring kaku.
Dengan suara yang sangat pelan, Fatimah berbisik kepada ayahnya.
"Ayah... Ibu Khadijah... kenapa diam saja Kenapa tidak tersenyum padaku seperti biasanya?"
Rasulullah menahan napas. Dadanya terasa sesak. Ia menunduk, memeluk putri kecilnya yang gemetar.
"Ibumu sudah bersama Allah, wahai Fatimah... Di surga, tempat yang jauh lebih indah," bisik beliau, suaranya bergetar.
Fatimah menggenggam erat tangan ayahnya. la menatap wajah ibunya sekali lagi, lalu dengan polosnya berkata,
"Ayah... aku ingin menutupi Ibu. Boleh aku memakai kainmu?"
Rasulullah terkejut mendengar permintaan polos itu. Dengan mata yang masih basah, beliau melepaskan kain yang beliau pakai, lalu menyerahkannya kepada Fatimah. Dengan tangan mungilnya, Fatimah menutupi jasad Khadijah dengan kain Rasulullah. Kain itu bukan sekadar kain. Itu adalah lambang cinta. Itu adalah lambang kehormatan.
Di saat itu, Rasulullah berdoa sambil menahan tangis,
"Ya Allah... limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijah, yang telah menolong agamamu, membela Rasul-Mu, dan menghiburku saat semua manusia mengusirku."
Malam terus bergulir dalam keheningan penuh air mata.
Keesokan harinya, Rasulullah sendiri yang mengurus pemakaman Khadijah. Beliau menggali kubur di Hajun (dekat Jannatul Mu'alla di Makkah) dengan tangannya sendiri, sambil berulang kali mengucapkan istighfar. Sahabat-sahabat setia menemani dengan mata sembab. Saat jasad Khadijah diturunkan ke liang lahad, Rasulullah memandang dalam ke liang kubur itu dan berkata dengan suara penuh cinta.
"Semoga Allah membalas segala pengorbananmu untuk Islam, wahai Khadijah." Beliau berlama-lama di kuburan itu, berdoa dalam tangisan, sementara Fatimah kecil duduk di pangkuan Bilal bin Rabah, menangis dalam diam.
Hari itu menjadi hari berkabung seluruh Makkah. Bukan hanya bagi Rasulullah tapi bagi seluruh umat manusia, yang kehilangan wanita terbaik sepanjang zaman.
Riwayat Tentang Wafatnya Sayyidah Khadijah Sahih Bukhari (Hadits no. 3820) dan Sahih Muslim (Hadits no. 2432): (HR. Bukhari no. 3820, Muslim no. 2432) Rasulullah sangat sedih atas wafatnya Khadijah.
Sirah Ibnu Ishaq dan Al-Bidayah wan-Nihayah
Tentang 5 kain kafan dari Jibril: (Riwayat ini disebut dalam kitab "Dalail An-Nubuwwah" oleh Al-Baihaqi).
"Semoga kelak kita dipertemukan kembali dengan Rasulullah dan Khadijah di surga. Aamiin."

